
Setelah resmi diterbitkan, PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan seketika membuat gempar karena Pasal 103 ayat (4) huruf e di dalamnya mengatur tentang penyediaan alat kontrasepsi untuk anak usia sekolah dan remaja.
Pasal ini dikhawatirkan menjadi legitimasi hubungan seksual sebelum nikah.
(4) Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. deteksi dini penyakit atau skrining;
b. Pengobatan;
c. Rehabilitasi;
d. konseling; dan
e. penyediaan alat kontrasepsi.
APA KATA KEMENKES DAN BKKBN?
”Pelayanan kontrasepsi bukanlah untuk semua remaja, melainkan remaja yang sudah menikah tetapi ingin menunda kehamilan.” – Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi
”Pelayanan kontrasepsi yang dilakukan oleh BKKBN menyasar pasangan suami istri, sedangkan yang dilakukan untuk anak usia sekolah dan remaja adalah pemberian edukasi mengenai seks dan kesehatan reproduksi.” – Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo
Kedua pernyataan di atas —yang memberlakukan pembatasan tentang pelayanan kontrasepsi— berbanding terbalik dengan UU Nomor 17 Tahun 2023 dan PP Nomor 28 Tahun 2024 yang justru membuka ruang penafsiran yang luas tentang pelayanan kontrasepsi.
KETIADAAN PEMBATASAN
Dalam UU Nomor 17 Tahun 2023 Pasal 63 ayat (3) disebutkan bahwa pelayanan keluarga berencana, yang salah satunya adalah pelayanan kontrasepsi, berhak diakses semua orang.
Sementara itu, PP Nomor 28 Tahun 2024 yang seharusnya merincikan UU tersebut justru menyebutkan bahwa penyediaan alat kontrasepsi berlaku untuk anak usia sekolah dan remaja tanpa disertakan syarat atau kondisi tertentu.
Penyebutan yang tanpa disertai pembatasan ini menimbulkan kesan bahwa siapa pun anak di usia sekolah dan remaja berhak untuk mendapat alat kontrasepsi. Padahal, sebagai pembanding, di Pasal 104 tentang upaya kesehatan reproduksi usia dewasa, dicantumkan pembatasan dengan frasa “bagi pasangan usia subur dan kelompok yang berisiko”.
“Dewasa dibatasi, kok, buat anak usia sekolah dan remaja malah enggak, ya?”
THE BACKGROUND
Sebuah fenomena yang tampaknya relevan dan tidak bisa kita sangkal makin marak terjadi di kisaran usia ini adalah tingginya angka kehamilan tidak diinginkan (KTD).
Pada tahun 2022, Plt. Direktur Gizi Kemenkes, dr. Ni Made Diah, menyatakan bahwa jumlah KTD mencapai 15,5% dari perempuan hamil. Dari angka ini, KTD banyak berasal dari remaja putri tingkat SMA.
Fenomena tingginya KTD ini kemudian memiliki efek domino yang berupa:
– Peningkatan jumlah pengajuan dispensasi nikah (pernikahan usia <19 tahun)
– Semakin banyak remaja putri yang putus sekolah
– Penurunan angka stunting terganjal akibat minimnya persiapan gizi sebelum kehamilan
APAKAH PENYEDIAAN ALAT KONTRASEPSI ADALAH SOLUSINYA?
Di tingkat global, KTD juga menjadi masalah yang marak. Solusi yang sudah dibuat, diuji coba, dan dibandingkan hasilnya adalah edukasi seksualitas dengan pendekatan abstinence-only dan abstinence-plus.
Abstinence-only
Pendidikan seksualitas yang menekankan tidak diperbolehkannya hubungan seksual sebelum pernikahan dengan alasan apapun.
Abstinence-plus
Pendidikan seksualitas dengan pendekatan diperbolehkannya hubungan seksual yang bertanggung jawab, dengan anggapan bahwa wajar apabila remaja sudah aktif secara seksual. Di saat yang sama, keutamaan abstinensi tetap diajarkan.
Beragam penelitian di Barat menemukan bahwa pendekatan abstinence-only tidak berhasil menekan angka seks bebas dan penyebaran infeksi menular seksual. Oleh karena itu, kini pendekatan abstinence-plus lah yang disosialisasikan dan sudah diterapkan melalui kurikulum Comprehensive Sexuality Education yang diajarkan di sekolah-sekolah.
APAKAH COCOK MENGADOPSI ABSTINENCE-PLUS DI INDONESIA?
Indonesia merupakan negara hukum yang berlandaskan Pancasila dengan sila pertama berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Dengan dasar ini, sudah sepatutnya penyusunan berbagai aturan hukum mengacu pada aturan keagamaan. Dan dalam berbagai agama yang diakui di Indonesia, adanya hubungan seksual sebelum pernikahan adalah terlarang.
Di dalam Bagian Keenam UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Reproduksi juga telah diatur bahwa setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan seksual dengan menghormati nilai luhur dan sesuai norma agama (Pasal 55) serta pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi dilakukan dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 57).
Selain itu, dengan pertimbangan bahwa Indonesia belum menjalankan pendidikan seksualitas secara optimal sehingga anak usia sekolah dan remaja belum memahami betul beragam risiko seks bebas, penyediaan alat kontrasepsi justru rentan disalahgunakan.
MEMANDANG DENGAN KACAMATA ISLAM
Dalam menetapkan suatu kebijakan, Islam selalu mengembalikan semua persoalan kepada sumber syariat (Al-Quran, Hadits, Ijma’, dan Qiyas). Islam dengan tegas melarang setiap perbuatan yang mendekati zina dan zina itu sendiri sesuai firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam QS. Al Isra’ ayat 32.
Sebuah kaidah fiqih (al-qawā’id al-fiqhiyyah) pun menyebutkan bahwa:
اَلْوَسِيْلَةُ إلىَ الْحَراَمِ حَرَامٌ
”Segala macam perantaraan/jalan (al-wasilah) kepada yang haram, hukumnya haram.”
Maka, siapa pun yang memfasilitasi perbuatan seks bebas atas dasar produk hukum ini, baik pembuat kebijakan maupun pelaksananya, dapat berdosa karena berperan sebagai wasilah (perantara) dalam perzinaan.
KESIMPULAN
Penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja adalah bentuk adaptasi penerapan pendekatan abstinence-plus untuk mengatasi problematika tingginya angka KTD dan beragam efek domino yang ditimbulkannya. Akan tetapi, dengan kondisi pendidikan seksualitas yang belum berjalan, kebijakan ini justru berpotensi memperbesar masalah yang ada.
Selain itu, ketimbang menyediakan alat kontrasepsi, negara sebaiknya bersegera dalam menjalankan pendidikan seksualitas di berbagai level pendidikan melalui konten dan pengetahuan yang sesuai norma agama maupun sosial yang berlaku di Indonesia.
REFERENSI
1. Abdella, N. 2013. FAILURE IN PUBLIC POLICY &THE INFLUENCE OF RELIGION: WHY WE NEED ABSTINENCEPLUS SEX EDUCATION. [Online] Available at: https://scholarworks.gsu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1131&context=gsurc [Accessed on August 12, 2024].
2. Al-Jazaary, Abd Almajeed Gomaa, (2007). Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah Al-Mustakhrajah min I’lām Al-Muwaqqi’īn. Daar Ibnu Qoyyim Dar Ibn ‘Affan, 502.
3. BBC News Indonesia. 2024. Pasal ‘penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja’ dalam PP Kesehatan menuai polemik. [Online] Available at: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cjk338jx603o [Accessed on August 12, 2024].
4. CNN Indonesia. 2023. Ribuan Anak Hamil di Luar Nikah, BKKBN Nilai Pengetahuan Rendah. [Online] Available at: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230118133119-20-901969/ribuan-anak-hamil-di-luar-nikah-bkkbn-nilai-pengetahuan-rendah [Accessed on August 12, 2024].
5. Collins, C., Alagiri, P., Summers, T. 2002. Abstinence Only vs. Comprehensive Sex Education: What are the arguments? What is the evidence? [Online] Available at: https://core.ac.uk/download/pdf/71342473.pdf [Accessed on August 12, 2024].
6. Kemensetneg RI. 2022. Kehamilan Tidak Diinginkan Jadi Ganjalan Penurunan Stunting. [Online] Available at: https://stunting.go.id/kehamilan-tidak-diinginkan-jadi-ganjalan-penurunan-stunting/ [Accessed on August 12, 2024].
7. Komnas Perempuan. -. Siaran Pers Komnas Perempuan: Memperkuat Kelembagaan Layanan berbasis Masyarakat Untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. [Online] Available at: https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-memperkuat-kelembagaan-layanan-berbasis-masyarakat-untuk-pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-seksual [Accessed on August 12, 2024].
8. KOMPAS. 2020. BKKBN: Kehamilan Tak Diinginkan di Indonesia Rata-rata 17,5 Persen. [Online] Available at: https://nasional.kompas.com/read/2020/06/30/15030631/bkkbn-kehamilan-tak-diinginkan-di-indonesia-rata-rata-175-persen#google_vignette [Accessed on August 12, 2024].
9. Ott MA, Santelli JS. Abstinence and abstinence-only education. Curr Opin Obstet Gynecol. 2007 Oct;19(5):446-52. doi: 10.1097/GCO.0b013e3282efdc0b. PMID: 17885460; PMCID: PMC5913747.
10. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024
11. Rejabar. 2023. Hamil Duluan, Jadi Alasan Mayoritas Pemohon Dispensasi Nikah. [Online] Available at: https://rejabar.republika.co.id/berita/ronnyb396/hamil-duluan-jadi-alasan-mayoritas-pemohon-dispensasi-nikah [Accessed on August 12, 2024].
12. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023