Untuk Apa Pendidikan Seksualitas?

REMAJA: USIA RENTAN

Usia 10-19 tahun didefinisikan sebagai fase remaja. Pada masa ini, terjadi berbagai perubahan biologis, psikologis, maupun sosial yang menjadikan anak lebih sadar tentang tubuh, identitas, dan interaksi sosialnya.

Anak juga dapat mulai merasakan ketertarikan seksual terhadap lawan jenis. Perkembangan ini merupakan proses normal yang erat kaitannya dengan kerja axis kelenjar hipotalamus-pituitari di otak dalam mengendalikan produksi berbagai hormon.

EKSPRESI RASA TERTARIK

Kebutuhan kasih sayang dan keintiman dengan lawan jenis akan meningkat saat menginjak masa remaja.

Di saat yang sama, anak yang belum mencapai kedewasaan kognitif masih perlu belajar memperhitungkan risiko. Ini membuat mereka rentan terhadap pengaruh buruk sekitar, yang dapat mendorong mereka menunjukkan kasih sayang dengan cara yang salah.

Rasa tertarik dapat diproyeksikan dengan berbagai cara: ekspresi fisik, verbal, atau materiil. Seringkali, ini dilakukan dengan menjalin hubungan romantis lawan jenis, atau berpacaran.

Menurut data, sebanyak 80% wanita dan 84% pria pernah berpacaran sepanjang hidupnya. Mayoritas mengaku mulai pacaran di usia 15-17 tahun.

PERILAKU BERISIKO

Sebuah survei menemukan bahwa pada remaja di Indonesia yang berpacaran:

•  Berpegangan tangan

64% wanita, 75% pria

•  Berpelukan

17% wanita, 33% pria

•  Mencium bibir

30% wanita, 50% pria

•  Meraba/diraba

5% wanita, 22% pria

•  Berhubungan seksual

8% pria, 2% wanita

*>50% pertama kali melakukannya pada usia 15-19 tahun

MENGAPA REMAJA MEMPRAKTIKKAN PERILAKU BERISIKO?

Meskipun rasa tertarik pada lawan jenis sejatinya merupakan fitrah manusia, pada akhirnya cara anak bersikap turut dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.

Faktanya, masih banyak remaja yang tidak memahami isu kesehatan reproduksi dan seksualitas. Rendahnya pengetahuan membuat mereka tidak menyadari dampak perbuatannya.

Selain bertentangan dengan ajaran Islam, perilaku tersebut juga menjadi faktor risiko berbagai masalah, seperti:

•  Penyakit menular seksual (PMS)

•  Kehamilan tidak diinginkan

•  Aborsi yang ilegal dan tidak aman

•  Gangguan psikologis, mulai dari depresi hingga bunuh diri

PENGARUH LINGKUNGAN

Faktor lingkungan yang berperan besar terhadap perspektif seksualitas seorang remaja antara lain: sikap orang tua, pola asuh, lingkungan sekolah, pergaulan sebaya, budaya sekitar, kondisi politik, hukum, spiritual, media, dan norma setempat.

Sedangkan menurut penelitian, tokoh yang paling anak percaya untuk mencari info tentang seksualitas, secara berurutan, adalah:

1.  Orang tua

2.  Sekolah

3.  Teman sebaya

4.  Sumber lain (media, saudara, dan lain-lain)

JADI, TANGGUNG JAWAB SIAPA?

•  ORANG TUA

Pendidikan seksual di rumah sangat dibutuhkan untuk untuk menegaskan pondasi keagamaan dan nilai-nilai yang diyakini tiap keluarga. Menyampaikannya sejak dini juga akan membangun kepercayaan dan keterbukaan anak terhadap orang tua.

•  SEKOLAH

Anak bisa menghabiskan hingga 1/3 waktunya di sekolah, sehingga teman dan lingkungan sekolah sangat menentukan perilaku anak.

Pendidikan seksualitas di sekolah akan memastikan seluruh siswa memiliki tingkat pemahaman yang setara.

Keterlibatan guru dalam mengawasi pergaulan siswa juga diperlukan agar bisa mencegah perilaku menyimpang dan menciptakan ruang yang aman bagi perkembangan anak.

JIKA PERAN UTAMA KOSONG…

Jika pendidikan seksualitas tidak berhasil disampaikan oleh dua sumber utama tersebut, anak akan terdorong untuk mengisi kekosongan informasi lewat sumber lain. Setelah orang tua dan sekolah, teman sebaya atau internet adalah sumber yang paling sering didatangi.

Tentunya, tanpa intervensi orang dewasa, anak rentan terpapar konten yang tidak sesuai usia dan bertentangan dengan norma. Bahkan, menurut penelitian, mempelajari tentang seksualitas lewat teman sebaya atau internet meningkatkan angka terjadinya hubungan seks pranikah.

SIMPULAN

Berbagai perubahan fisik, emosional, maupun sosial di usia remaja menjadikan populasi ini rentan terhadap berbagai isu kesehatan reproduksi dan seksualitas.

Kehadiran orang tua dan sekolah, sebagai dua tokoh yang paling dipercaya remaja, esensial dalam membentuk perspektif anak mengenai seksualitas lewat sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.

REFERENSI

•  Bleakley, A., Hennessy, M., Fishbein, M., & Jordan, A. (2009). How sources of sexual information relate to adolescents’ beliefs about sex. American journal of health behavior, 33(1), 37–48. https://doi.org/10.5993/ajhb.33.1.4

•  Eryilmaz, N., KösretaÅŸ, B., & Ataman, S. Sexual Health Education at Home and at School. Genel SaÄŸlık Bilimleri Dergisi, 3(2), 152-159.

•  Handelsman, C. D., Cabral, R. J., & Weisfeld, G. E. (1987). Sources of Information and Adolescent Sexual Knowledge and Behavior. Journal of Adolescent Research, 2(4), 455–463. https://doi.org/10.1177/074355488724011

•  Kar, S. K., Choudhury, A., & Singh, A. P. (2015). Understanding normal development of adolescent sexuality: A bumpy ride. Journal of human reproductive sciences, 8(2), 70–74. https://doi.org/10.4103/0974-1208.158594

•  Levesque, R.J.R. (2018). Sexuality Education Sources. In: Levesque, R.J.R. (eds) Encyclopedia of Adolescence. Springer, Cham. https://doi.org/10.1007/978-3-319-33228-4_329

•  The Demographic and Health Surveys (DHS) Program. (2017). Survei Demografi dan Kesehatan?: Kesehatan Reproduksi Remaja 2017. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, 1–606. http://www.dhsprogram.com.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts