Bisakah Indonesia Menggunakan Kurikulum UNESCO Sebagai Rujukan Pendidikan Seksualitas Di Sekolah?

Dengan makin maraknya kasus kekerasan seksual di lingkup pendidikan, adanya pendidikan seksualitas di sekolah menjadi suatu hal yang penting.

Jika dimasukkan ke dalam kurikulum, hal ini akan menjamin bahwa setiap siswa mendapatkan informasi yang benar terkait pendidikan seksualitas. Tidak hanya itu, pemahaman setiap siswa akan diukur melalui berbagai metode evaluasi. Hal ini bisa menjamin bahwa ilmu ini tidak hanya “asal lewat” saja.

KS: Tapi… bikin kurikulum pasti ribet kan, Mintau? Kapan nih bisa diterapkan di sekolah?

Mintau: Eits, tenang, Knowledge Seekers! Kini sudah ada Buku Panduan Kesehatan Reproduksi dari Kemendikbud!

Kedua buku panduan dari Kemendikbud ini mengadopsi International Technical Guidance on Sexuality Education (ITGSE) yang diterbitkan oleh UNESCO. Panduan teknis ini merupakan produk lanjutan dari program Comprehensive Sexuality Education (CSE).

ITGSE telah diuji coba di 87 negara dan luarannya pun telah diukur. Hasilnya antara lain:

– Penundaan hubungan seksual

– Penurunan jumlah pasangan serta frekuensi berhubungan seksual

– Peningkatan penggunaan kondom dan alat kontrasepsi lainnya

TOPIK YANG DIPELAJARI DALAM CSE

Menilik dari judulnya, 8 topik ini sangatlah komprehensif dan penting untuk dipelajari. Meski demikian, kita harus berhati-hati dalam menentukan apa yang diajarkan di dalam setiap topiknya.

2 TITIK KRITIS FUNDAMENTAL DALAM CSE

1. Tujuan CSE

Salah satu latar belakang UNESCO terkait program CSE ini adalah tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi yang tidak aman, serta peningkatan kasus HIV/AIDS dan penyakit menular seksual. Hal tersebut membuat mereka ingin mengampanyekan “safe sex”. Sementara, pendidikan seksualitas dalam Islam mengajarkan bahwa tidak ada hubungan seksual di luar pernikahan.

2. Isu yang diperjuangkan

Secara tersurat, di dalam ITGSE, UNESCO ingin mengangkat isu tentang HAM dan kesetaraan gender. Negara Barat adalah sumber pemikiran terkait perbedaan antara “jenis kelamin” dan “gender”, yang karenanya kini banyak sekali identitas di luar “laki-laki” dan “perempuan”. Bagi mereka, kebebasan untuk menunjukkan identitas gender, serta orientasi seksual, adalah bagian dari HAM. Sedangkan, dalam Islam, manusia akan selalu terikat pada aturan penciptanya, termasuk pembagian jenis kelamin dan fitrah seksualitasnya.

Jadi, bisakah CSE ataupun ITGSE menjadi rujukan Indonesia dalam pendidikan seksualitas di sekolah?

Bisa dengan syarat, yaitu penyesuaian nilai dan norma yang ingin ditanamkan.

Indonesia terlebih dahulu harus dengan tegas menentukan nilai dan norma yang ingin ditanamkan karena hal ini akan sangat berpengaruh pada penentuan isi dari kedelapan topik yang diajarkan.

GOOD NEWS!

Dalam buku panduan untuk tingkat SD tertulis bahwa poin pertama dari 5 Nilai Pendidikan Karakter di Sekolah dari Kemendikbud adalah “Relijius”, yaitu “beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki nilai dan menerapkan norma agama dalam perilaku.

Pemetaan kurikulum tingkat SMP pun sudah menyertakan “kompetensi spiritual”, walau belum dijabarkan lebih lanjut mengenai materi apa yang akan diajarkan.

REFERENSI

  • Direktorat Sekolah Dasar Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Buku Panduan Pelaksanaan Pendidikan Kesehatan Reproduksi di Sekolah Dasar. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Direktorat Sekolah Menengah Pertama Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. (2021). Pedoman Program Kesehatan Reproduksi Jenjang SMP. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
  • United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). (2018). International Technical Guidance On Sexuality Education (ITGSE): An Evidence-informed Approach. Edisi ke-2. Geneva: UNESCO.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts