Knowledge Seekers, pernah dengar tentang tes keperawanan? Di negara kita, gagasan ini sempat muncul di institusi pendidikan maupun lembaga negara. Belakangan, muncul lagi isu tes keperawanan karena ada berita viral tentang seorang laki-laki yang melakukan tes keperawanan kepada pacarnya.
Sebenernya, apa sih tes keperawanan itu?
DEFINISI PERAWAN
Istilah “perawan” berasal dari kata bahasa Latin “virgo” yang berarti perempuan muda yang belum pernah melakukan hubungan seksual.
Istilah ini bukan berasal dari konsep medis maupun ilmiah, tetapi dibangun oleh konstruksi sosial, budaya, dan agama.
SEJARAH TES KEPERAWANAN
Dua puluh negara di dunia, termasuk Indonesia, pernah atau masih menjalankan praktik tes keperawanan. Tes ini dipercaya dapat memberi informasi riwayat berhubungan seksual pada seorang perempuan.
Di banyak budaya, perempuan dianggap sebagai “properti” yang nilainya diukur melalui kesuciannya. Oleh karena itu, perempuan dituntut untuk perawan hingga ia menikah.
Di Indonesia, tes keperawanan sempat menjadi syarat pendaftaran berbagai lembaga negara, seperti TNI dan POLRI. Namun, setelah perjuangan panjang, akhirnya tes ini resmi dihapuskan.
KONTROVERSI MEDIS
Pada tahun 2018, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi menyatakan bahwa tes keperawanan tidak memiliki dasar ilmiah yang jelas.
Sebelumnya, ada 2 metode yang biasa digunakan, yakni pemeriksaan selaput dara dan “two-finger” test.
Pemeriksaan selaput dara dilakukan dengan mengobservasi bentuknya. Padahal, bentuk selaput dara bervariasi sehingga tidak ada bentuk yang bisa menjadi patokan. Kalaupun ada riwayat penetrasi ataupun trauma lainnya, jaringan selaput dara bisa sembuh dengan cepat.
“Two-finger” test dilakukan dengan memasukkan jari ke lubang vagina untuk menilai longgar atau ketatnya dinding vagina. Hasil pemeriksaan dengan metode ini tidak bisa dipertanggungjawabkan karena otot dinding vagina bersifat dinamis tergantung anatomi setiap individu, tahapan perkembangan seksual, serta dapat dipengaruhi hormon.
KACAMATA HUKUM
Tes keperawanan adalah bentuk diskriminasi gender dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
WHO menegaskan bahwa segala jenis pemeriksaan fisik hanya boleh dilakukan jika bermanfaat secara medis dan harus di bawah persetujuan pasien. Sedangkan, tes keperawanan seringkali dilakukan karena perempuan mendapat tekanan dari berbagai pihak: orang tua, pasangan, sekolah, atau atasan dalam suatu instansi.
Selain itu, karena tidak mempunyai dasar ilmiah, hasil tes keperawanan bisa jadi salah dan mengakibatkan diskriminasi pada perempuan (misalnya ditolak saat melamar pekerjaan). Bahkan, perempuan bisa dipersekusi atas hal yang tidak dilakukannya (misalnya dituduh berzina).
PANDANGAN SYARIAT ISLAM
Diketahui ada tiga fatwa ulama yang menyinggung tes keperawanan.
Dua fatwa pertama lahir dari kasus di mana ada seorang laki-laki yang meminta agar calon istrinya diperiksa sebelum menikah. Dalam kondisi ini, tes keperawanan diharamkan karena:
(1) Pemeriksaan ini bukanlah pemeriksaan yang mendesak, sehingga haram bagi wanita untuk membuka aurat besarnya.
(2) Tes keperawanan bukanlah syarat menikah. Robeknya selaput dara tidak hanya disebabkan oleh hubungan seksual, namun juga bisa akibat berolahraga. Hal ini dikhawatirkan malah memunculkan buruk sangka dan menghancurkan kehormatannya.
Sementara itu, fatwa ketiga lahir dari kasus adanya suami yang ingin memastikan keperawanan istrinya akibat adanya tuduhan, sementara istrinya sendiri meyakini ia masih perawan. Fatwa tersebut membolehkan dilakukannya tes keperawanan karena dikhawatirkan jika tuduhan tersebut dibiarkan malah mengakibatkan hancurnya rumah tangga mereka, serta tidak ada pemeriksaan lainnya yang bisa dilakukan.
KESIMPULAN
Islam mewajibkan kita untuk menjaga kesucian serta melarang segala bentuk zina, tidak terbatas hanya pada hubungan seksual saja. Hal ini berlaku baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Menjadikan tes keperawanan sebagai tolak ukur moral seseorang maupun untuk tujuan lain membawa lebih banyak mudharat daripada maslahat, baik dari segi medis, hukum, maupun syariat.
Kalaupun ada fatwa yang membolehkan dilakukannya tes keperawanan, hal tersebut disesuaikan dengan konteks keilmuan yang terkait dan tidak bisa diaplikasikan untuk semua kondisi.
REFERENSI
• Bahraen R. 2021. Hukum Tes Keperawanan Sebelum Masuk Sekolah. Available from: https://muslim.or.id/17968-hukum-tes-keperawanan-sebelum-masuk-sekolah.html [Accessed 10 August 2022].
• Bahraen R. 2013. Hukum Pemeriksaan Keperawanan. Available from: https://muslimafiyah.com/hukum-pemeriksaan-keperawanan.html [Accessed 10 August 2022].
• Human Rights Watch. 2018. UN: WHO Condemns ‘Virginity Tests’. [Online] Available at: https://www.hrw.org/news/2014/12/02/un-who-condemns-virginity-tests [Accessed 9 August 2022].
• Olson RM, Garcia-Moreno C. Virginity testing: a systematic review. Reproductive Health (2017) 14:61. DOI 10.1186/s12978-017-0319-0.
• World Health Organization. 2018. Eliminating Virginity Testing: An Interagency Statement.