Menyikapi LGBTQ+: Pake Akal atau Iman?

LGBTQ+ DALAM PANDANGAN ISLAM

Islam secara tegas melarang perilaku LGBTQ+.

Tidak ada perdebatan di antara para ulama tentang hal ini.

TAPI KOK NGGAK SESUAI DENGAN PERSPEKTIF MEDIS?

Di dunia medis, topik LGBTQ+ ternyata banyak menuai pro dan kontra. Awalnya, kelompok ini memang diklasifikasikan sebagai suatu kelainan kejiwaan.

Namun, setelah para psikiater berdebat panjang berdasarkan berbagai hasil penelitian, klasifikasi ini resmi dihapus di tahun 1973. Berarti secara medis, LGBTQ+ nggak lagi dianggap suatu penyakit.

Nah loh, dengan bukti-bukti yang ada, apakah pandangan Islam juga ikut berubah?

SIKAP SEBAGAI MUSLIM YANG TAQWA

Taqwa berarti mempercayai keberadaan Allah, membenarkannya, dan takut akan kehilangan cinta Allah.

Sebagai wujud taqwa, seorang muslim wajib melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya, terlepas dari ada atau tidaknya pembenaran dari perspektif lain.

Ini didasari oleh keimanan kita terhadap firman Allah melalui Al-Qur’an yang terjaga kemurniannya.

AKAL ATAU IMAN?

Kalau untuk mengimani sesuatu kita harus mencari bukti sains, iman kita pasti mudah goyah.

Misalnya tentang memakan babi: Kita nggak makan babi karena memang diharamkan, maka kita taati. Jika ternyata penelitian membuktikan daging babi berdampak buruk untuk kesehatan, itu kita anggap hikmah, tapi bukan menjadi alasan utamanya.

Bagaimana kalau ternyata 10 tahun lagi ditemukan keunggulan daging babi? Haram tetaplah haram, karena kita mengimani kebenaran Al-Qur’an.

APA BERARTI AJARAN ISLAM TIDAK LOGIS?

Manusia diciptakan untuk terus berpikir mencari kebenaran. Ini adalah fitrah kita sebagai makhluk yang berakal. Islam, sebagai agama yang rasional, mendorong umatnya untuk terus mencari ilmu, karena akal dikaruniakan Allah pada kita sebagai pembeda dari makhluk-Nya yang lain.

يُنْۢبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُوْنَ وَالنَّخِيْلَ وَالْاَعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Dengan (air hujan) itu Dia menumbuhkan untuk kamu tanam-tanaman, zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir. (QS An-Nahl: 11)

KEDUDUKAN AKAL DALAM ISLAM

Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang tinggi terhadap akal manusia. Bahkan, akal adalah syarat untuk memahami dalil dengan baik dan sempurna.

Tapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal sangat membutuhkan dalil syar’i.

Akal bisa berjalan dan berfungsi jika dilandasi oleh dalil syar’i, yaitu dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.

BATASAN AKAL

Akal manusia memiliki keterbatasan dan bisa dipengaruhi berbagai kepentingan. Memaksa mengikutinya di luar kapasitas justru dapat menyesatkan kita. Oleh karena itu, Allah menurunkan wahyu-Nya, untuk membimbing kita di tengah keterbatasan akal.

قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٣

“Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui’.” (QS Al-A’raf: 33)

SIMPULAN

Akal yang benar semestinya tidak bertentangan dengan syariat. Tapi, terkadang keterbatasan kapasitas manusia membuat dalil dan akal seakan bersimpangan.  Di situasi seperti ini, akal harus tunduk pada dalil. Sebab, dalil selalu bersifat terjaga, sedangkan akal sifatnya terbatas dan berubah-ubah. Inilah bagian dari keimanan kita sebagai seorang Muslim.

REFERENSI

  • Amin, M. (2018). Kedudukan Akal dalam Islam. Tarbawi: Jurnal Pendidikan Agama Islam, 3(01), 79-92. 
  • Solihin, M. (2015). Islam Dan Pemikiran Ilmiah. Nur El-Islam, 2(1), 29-40. 
  • Drescher J. (2015). Out of DSM: Depathologizing Homosexuality. Behavioral sciences (Basel, Switzerland), 5(4), 565–575. https://doi.org/10.3390/bs5040565

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts