Non-Consensual Intimate Image (NCII) Pakai AI Deepfake?!

  •  

NCII, TUH, APA, SIH? 

Non-consensual dissemination of intimate image (NCII) adalah istilah untuk penyebaran citraan bernuansa seksual di luar kehendak korban. 

 

NCII merupakan istilah payung untuk beberapa jenis kekerasan seksual, seperti pemerasan seksual, penyebaran foto dan/atau video intim, dan sebagainya. 

 

NCII lumrah dikenal dengan “revenge porn“. Namun, ternyata istilah ini dirasa problematik karena bernuansa seperti korban berhak menerima “balas dendam” dan “porn” berkonotasi komersiil serta seolah dibuat untuk hiburan. 

 

APA UNSUR PENTINGNYA? 

Penekanan unsur NCII adalah distribusi citraan di luar kehendak korban. Ini karena citraan bernuansa seksual tersebut mungkin saja diproduksi dengan kehendak maupun tanpa kehendak korban. 

 

Kemudian, pelaku melakukan hal tersebut untuk memaksa korban melakukan kemauannya atau menjadikan hal tersebut bahan untuk memanipulasi korban secara emosi, ekonomi, hiburan, atau bahkan tanpa alasan khusus. 

 

Unsur NCII antara lain: 

  1. Hal yang di luar kehendak korban adalah pendistribusian citraan. 
  2. Pelaku penyebaran tipikalnya adalah pasangan atau mantan pasangan. Pelaku mungkin saja telah berinteraksi secara seksual dengan korban, baik secara paksaan maupun tidak dengan paksaan. 
  3. Motifnya memaksa korban melakukan keinginan pelaku. 

 

NCII PAKAI AI? 

Apakah pelaku NCII dapat mengembangkan suatu media yang berbau seksual (maupun tidak!) menggunakan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI)? Misalnya, foto tidak berbusana diproses menggunakan AI hingga menjadi video. 

 

Walaupun menyeramkan, jawabannya…BISA! Namanya deepfake. 

 

 

GARIS HUKUM NCII DENGAN DEEPFAKE 

Nah, sekarang kita tarik garis hukum NCII dengan deepfake dalam Islam. 

 

‘Kan, gambar AI bukan manusia beneran? Jadi boleh, dong? Apa benar begitu? 

 

Pertama, hal tidak senonoh dilarang dalam Islam. Dalam Islam, semua kegiatan muamalah, hukum asalnya adalah boleh kecuali ada larangannya. Dalam hal ini, jelas bahwa apapun yang dibuat manusia dengan alat AI, jika bermuatan tidak senonoh, maka HARAM karena merupakan bentuk qurb al-zina dan pengumbaran aurat. Apalagi NCII merupakan perbuatan yang sangat merugikan dan jahat terhadap korban. Jadi, bukan hanya citraan manusia saja yang haram. Mau kartun, lukisan, CGI, kalau isinya tidak senonoh, maka membuat, menyebarkan, menonton, dan seterusnya…hukumnya HARAM! 

 

Kedua, bentuk fitnah yang keji. Melakukan NCII saja sudah keji, apalagi ditambah dengan deepfake. Ini fitnah yang besar karena sebenarnya korban tidak melakukan hal yang disimulasikan AI. 

 

“Barang siapa memfitnah saudaranya (dengan tujuan mencela dan menjatuhkan kehormatannya) maka Allah akan menahannya di jembatan Jahanam sampai ia bersih dari dosanya (dengan siksaan itu).” (HR Abu Daud) 

 

Kemudian, ada juga korban NCII yang memang berkehendak berzina atau justru melakukan hubungan halal (dalam kasus korban-pelaku adalah pasangan sah), tapi tidak menghendaki citraan tersebut disebarkan, apalagi diubah dengan AI. 

 

Untuk hal tersebut, sebagai Muslim, kita memiliki kewajiban menutupi aib dengan tidak menyebarluaskannya (HR Bukhari-Muslim) dan merahasiakan hubungan suami-istri (HR Muslim). 

 

Ketiga, tindakan ini dapat dipidana. NCII sangat mungkin dijerat pidana, bahkan pidana berlapis. Dalam Islam, hukum pidana yang dirumuskan pemerintah dan mengandung nilai Islam dapat disebut ta’zir sehingga secara syariat, jalan keluar berupa hukum pidana negara diakui pula. 

  • UU ITE Pasal 27(1), mendistribusikan konten asusila elektronik
    • penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal 1 miliar. 
  • UU TPKS Pasal 14, memproduksi, mendistribusikan konten seksual di luar kehendak 
    • penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal 200 juta. Jika dilakukan untuk pemerasan dan/atau menyesatkan (revenge porn sangat mungkin bermotif seperti ini) → diperberat menjadi penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal 300 juta. 
  • UU Pornografi Pasal 4 jo. 29, memproduksi, mendistribusikan pornografi eksplisit 
    • pidana maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal 6 miliar. 

 

Unsur-unsur lengkap tindak pidana dapat dirujuk kepada undang-undangnya masing-masing, untuk diterapkan dengan tepat sesuai tindakannya. 

 

Dengan berjalannya proses pidana, korban mendapatkan perlindungan pula. Salah satunya, secara umum, korban dapat meminta ganti rugi atas tindakan pelaku (KUHAP Pasal 98-101). Dalam UU TPKS pun terdapat pengaturan khusus untuk hal ini. 

 

Untuk melaporkan dan mendapatkan bantuan hukum dalam kasus seperti ini, Knowledge Seekers dapat menghubungi: 

  1. Platform tempat citraan diunggah untuk permintaan takedown 
  2. Kepolisian setempat melalui nomor 110 
  3. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) setempat 
  4. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban melalui nomor 148 dan hotline 085770010048 (instagram @infolpsk) 
  5. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melalui situs web pengaduan.komnasham.go.id (@komnas.ham) 
  6. Komisi Nasional Perempuan, melalui pengaduan@komnasperempuan.go.id 
  7. Lembaga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak khusus korban kekerasan seksual, Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) melalui nomor 129 

 

REFERENSI 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts