KALAU SAKIT, HARUS NYARI PERTOLONGAN KE MANA, YA?
Ketika kita sakit, wajib hukumnya untuk mencari pertolongan kepada dokter atau orang yang menguasai ilmunya sebagai bentuk ikhtiar guna mendapatkan kesembuhan. Kesembuhan memang ketentuan Allah, tetapi sebagai manusia, kita diberi akal dan petunjuk untuk menjalankan kewajiban menempuh ikhtiar guna mencapai kesembuhan tersebut.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit beserta obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit ada obatnya, maka berobatlah kalian, tetapi jangan berobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud)
BOLEH NGGAK, SIH, KALAU PENGOBATAN DILAKUKAN OLEH DOKTER YANG BERLAWANAN JENIS?
Berkaitan dengan hal ini, ulama mengatakan bahwa pengobatan pasien perempuan hendaknya dilakukan dokter perempuan dan pengobatan pasien laki-laki dilakukan oleh dokter laki-laki, kecuali dalam keadaan darurat. Hal ini bertujuan untuk menghindari fitnah dan ikhtilat.
Para ulama berpendapat bahwa bagi perempuan, wajib untuk mengusahakan periksa ke dokter perempuan terlebih dahulu yang terdekat dengan wilayah rumahnya. Jika dalam keadaan darurat, maka diperbolehkan untuk periksa ke dokter yang berbeda jenis kelamin dengannya.
Dalam kitab Hâsyiyah al-Bâjury, dijelaskan bahwa:
فيجوز نظر الطبيب من الاجنبية الى المواضع التي يحتاج اليها في المداوة حتى مداوة الفرج ويكون ذلك بحضور محرم اوزوج اوسيد وأن لاتكون هناك امرأة تعاجلها
Artinya: “Diperbolehkan bagi dokter untuk mengobati perempuan yang bukan mahramnya pada anggota badan yang dibutuhkan untuk pengobatan, bahkan di area farji (kemaluan). Namun, harus disertai kehadiran mahram, suami, atau ayahnya, (dengan catatan) jika tidak dijumpai adanya perempuan yang bisa mengobatinya.”
Di Indonesia, dalam fatwa Majelis Pertimbangan Kesehatan Indonesia Syariat (MPKS) disebutkan bahwa:
Tidak dilarang melihat aurat perempuan oleh dokter laki-laki untuk keperluan pemeriksaan dan pengobatan. Namun, jika pemeriksaan berkaitan dengan genital dan sekitarnya, maka perlu ditemani oleh anggota keluarga laki-laki atau mahramnya. Jadi, kebolehan berobat kepada lain jenis disyariatkan jika yang sesama jenis tidak ada.
KALAU PERIKSA KE DOKTER LAKI-LAKI KARENA DIANGGAP LEBIH KOMPETEN DIBANDING DOKTER PEREMPUAN YANG ADA, HUKUMNYA GIMANA, SIH?
Sebagai pasien, tentunya kita ingin mendapatkan pelayanan medis dari dokter yang menurut kita adalah yang terbaik. Itu adalah hal yang wajar. Tetapi, ada baiknya untuk tetap mencari dan mengupayakan semaksimal mungkin untuk menemui dokter yang sama jenis kelaminnya serta berkompeten juga di bidangnya. Jika tidak ada pilihan selain dokter laki-laki tersebut, maka hukumnya diperbolehkan.
Misal, di suatu kota ada ibu hamil yang mengidap kanker parah yang membutuhkan penanganan medis. Di kota tersebut hanya ada satu dokter kandungan laki-laki yang adalah seorang konsultan ahli kanker, dan beliau -insyaaAllah- mampu menanganinya. Di kota tersebut juga ada dokter kandungan perempuan, tetapi belum mampu menangani kasus seperti itu. Dalam hal ini, diperbolehkan berobat ke dokter laki-laki tersebut karena bersifat darurat serta mendatangkan maslahat untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayinya. Jika tidak cepat ditolong, maka itu dapat membahayakan nyawa ibu dan bayinya.
NAH, INI DIA BATASAN AURAT DENGAN MAHRAM DAN BUKAN MAHRAM!
Batasan aurat dengan mahram
• Perempuan dengan mahramnya
Hanya kepala, leher, tangan hingga siku, dan kaki hingga lutut saja yang bukan aurat. Bagian tubuh selain itu adalah aurat (mazhab Syafi’iyah).
• Laki-laki dengan mahramnya
Bagian tubuh yang terletak di antara pusar dan lutut (mazhab Syafi’iyah dan Hambali).
Batasan aurat dengan bukan mahram
• Perempuan dengan yang bukan mahramnya
Seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan (mazhab Syafi’i).
• Laki-laki dengan yang bukan mahramnya
Bagian tubuh yang terletak di antara pusar dan lutut (mazhab Syafi’iyah dan Hambali).
HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN DOKTER KETIKA MEMERIKSA PASIEN YANG BERBEDA JENIS KELAMIN DENGANNYA
1. Mendahulukan untuk melakukan pengobatan sesuai jenis kelamin. Laki-laki ditangani laki-laki dan perempuan ditangani perempuan. Ketika melakukan tindakan medis pada pasien perempuan, maka yang pertama didahulukan adalah dokter perempuan muslim, lalu dokter perempuan nonmuslim, lalu dokter laki-laki muslim, kemudian dokter laki-laki nonmuslim.
2. Dalam setiap tindakan medis yang dilakukan dokter laki-laki terhadap pasien perempuan, hendaknya dihadirkan mahram untuk menghindari fitnah.
3. Cukup membuka bagian tubuh yang ingin diperiksa saja, tidak lebih dari itu jika tidak ada keperluan medis lainnya.
4. Jika penyakit dapat diidentifikasi tanpa harus membuka aurat, maka hendaknya dilakukan seperti itu saja. Jika hanya diperlukan melihat bagian tubuh pasien yang sakit saja, maka tidak perlu menyentuhnya. Adapun jika cukup menyentuh dengan menggunakan penghalang, maka tidak perlu menyentuh langsung.
5. Ketentuan-ketentuan tersebut berlaku jika tidak menimbulkan fitnah dan tidak membangkitkan syahwat bagi dokter dan pasiennya.
KESIMPULAN
Keadaan darurat membolehkan perkara yang terlarang. Para ulama sepakat bahwa seorang dokter boleh melihat bagian tubuh pasien perempuan yang sakit untuk kebutuhan pemeriksaan dan pengobatan dengan memperhatikan batasan-batasan syar’i. Hukum ini didasarkan atas kaidah mendahulukan maslahat menyelamatkan jiwa dari pada maslahat menjaga aurat.
REFERENSI
- Al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha 228-229. [Online] Available at: https://almanhaj.or.id/2883-jika-perempuan-muslimah-berobat-ke-dokter-lelaki.html#_ftn6 [Accessed on 28 July 2023].
- Burhanuddin Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri, Hâsyiyah al Bâjury ‘alâ Sharhi al-Allaâmah Ibni Qâsiīm al-Ghâzi ‘alâ Matni Abī Shujjâ’, Beirut, Dâru al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999, Juz 2, halaman 99. [Online] Available at: Yusril Ihsanul M_70600116047.pdf (uin-alauddin.ac.id) [Accessed on 28 July 2023].
- Dr. Ashadi L. Diab, M.A., M.Hum. (2017). Maqashid Kesehatan & Etika Medis dalam Islam (Sintesis Fikih dan Kedokteran). Yogyakarta: Deepublish.
- Imam Abi Daud, Sunan Abi Daud, (Beirut Daar Al-Fikr, 2009), Kitab Pengobatan, Bab Obat-obat yang Makruh, Jilid.4, No 3874, Hal.7. [Online] [Accessed on 28 July 2023].
- Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc. (2010).Manakah Aurat Lelaki?. [Online] Available at https://rumaysho.com/1485-manakah-aurat-lelaki-2.html#:~:text=Pendapat%20terkuat%20dalam%20hal%20ini,pendapat%20jumhur%20(mayoritas)%20ulama [Accessed on 28 July 2023].
- Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc. (2012). Aturan Melihat Aurat Lawan Jenis Saat Berobat. [Online] Available at https://rumaysho.com/2763-aturan-melihat-aurat-lawan-jenis-saat-berobat.html [Accessed on 28 July 2023].
- Muhammad Abduh Tuasikal, M.Sc. (2016). Aurat dengan Sesama Mahram. [Online] Available at https://rumaysho.com/13098-aurat-dengan-sesama-mahram.html [Accessed on 28 July 2023].
- Syaikh Muhammad Saalih Al-Munajjid. Batasan Aurat yang Boleh Dilihat Saat Pengobatan. [Online] Available at https://islamqa.info/id/answers/5693/batasan-aurat-yang-boleh-dilihat-saat-pengobatan [Accessed on 28 July 2023].