Perempuan dan Kontes Kecantikan. Bolehkah Mengekspresikan Kemampuan Melalui Kontes Kecantikan?

KONTES KECANTIKAN SEDANG RAMAI DIPERBINCANGKAN   

Di Indonesia, berita pelecehan seksual yang terjadi pada finalis kontes kecantikan sedang menjadi sorotan publik. Salah seorang finalis mengungkapkan bahwa mereka menerima sejumlah perlakuan yang kurang baik. 

 

Tidak hanya difoto tanpa busana, mereka juga dikabarkan menerima perlakuan intimidasi saat proses body checking.   

 

Sebenarnya, apa, sih, tujuan diselenggarakannya kontes kecantikan? 

 

Lalu, apakah muslimah boleh mengikuti kontes kecantikan dengan tujuan mensyiarkan nilai-nilai kebaikan?   

 

MENGENAL KONTES KECANTIKAN DAN SEJARAHNYA   

Tidak bisa dinafikan, kecantikan fisik adalah sisi yang paling menarik dari seorang perempuan sehingga kecantikan ini dilirik oleh banyak kalangan. Akibatnya, kecantikan perempuan dijadikan sebagai komoditas yang dapat menarik perhatian dan menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnnya. 

 

Fenomena ajang kontes kecantikan dengan beragam jenisnya, baik yang bersifat lokal, regional, nasional, hingga internasional menjadi salah satu wadah yang dibuat legal dalam upaya menilai keindahan perempuan.   

 

Konsep ‘penilaian’ terhadap perempuan ternyata sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Pada saat itu, seorang bangsawan Yunani, Alexandros, harus memilih dewi yang paling cantik. Kontes kecantikan modern pertama Amerika diselenggarakan pada tahun 1854. Namun, kontes kecantikan tersebut tidak diadakan kembali karena adanya protes publik. Selanjutnya, pada tahun 1880, diselenggarakan “Kontes Kecantikan Pakaian Mandi” pertama untuk mempromosikan sebuah bisnis pakaian mandi. Sejak saat itu, kontes kecantikan menjadi lebih populer dan bermunculan berbagai jenis kontes kecantikan lainnya hingga saat ini.   

 

STANDAR KONTES KECANTIKAN = BRAIN + BEAUTY + BEHAVOUR. BENARKAH?   

Salah satu kriteria yang digunakan dalam pemilihan ditentukan dari penampilan fisik. Parameter yang dominan digunakan adalah kecantikan fisik, seperti tinggi badan minimal 170 cm, langsing, dada membusung, berkulit halus, dan lain-lain. Di sisi lain, kontestan juga harus memublikasikan tubuh “wilayah privasi” kepada publik, melenggok-lenggokan tubuh saat berjalan di atas panggung, dan bergaya menarik atau fotogenik saat pemotretan.   

 

“Kontes kecantikan bukan cuma menilai kecantikan, tapi juga wawasan dan manner.” 

 

Formula yang selama ini diagung-agungkan oleh kontes kecantikan (brain, beauty, behaviour) sebenarnya tidak sama sekali memandang variabel brain dan behaviour apabila tidak ada variabel beauty di dalamnya. 

 

Pengukuran tingkat kecerdasan dan pengetahuan seperti komplemen pelengkap saja dalam rangka meraih simpati publik. Pemilihan berdasarkan kriteria tersebut juga merupakan tindakan diskriminasi terhadap sesama perempuan. Hal ini akan menjadikan perempuan memandang rendah dirinya hanya karena kekurangan fisik yang dimiliki.   

 

KONTES KECANTIKAN SEBAGAI SARANA OBJEKTIFIKASI DAN EKSPLOITASI PEREMPUAN  

Objektifikasi perempuan terjadi apabila terdapat anggapan bahwa perempuan itu sama dengan objek yang boleh dinilai dari segala hal yang tampak, contohnya adalah tinggi badan. Perempuan dalam kontes pemilihan tersebut mengindikasikan bahwa mereka hanyalah sebuah objek yang dikelola sedemikian rupa dengan kecantikan fisik sebagai kekuatan utama.   

 

Jika dianalisis dengan lebih mendalam, kontes-kontes kecantikan, baik berskala daerah, nasional, maupun international tidak lebih dari sebuah kegiatan eksploitasi terhadap perempuan. Standarisasi kecantikan yang ditetapkan dalam kontes tersebut secara tidak sadar telah menjadikan perempuan-perempuan sebagai budak di mana semua keuntungan pasti akan mengarah ke perusahaan-perusahaan yang memproduksi alat kecantikan.   

 

KONTES KECANTIKAN DARI PERSPEKTIF ISLAM ISLAM MENYUKAI KEINDAHAN, TETAPI TIDAK UNTUK DIPERTONTONKAN   

Pada hakikatnya, Islam sangat menghargai keindahan dan kecantikan. Ketika laki-laki ingin memilih istri, Islam memberikan tuntunan dan membolehkan untuk memahami identitas perempuan, termasuk dari sisi kecantikan yang dimilikinya.   

 

Hal tersebut sesuai antara lain dengan hadis Rasulullah ﷺ berikut. 

“Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Pilihlah (perempuan) yang beragama, niscaya anda makmur.” 

[HR. Al-Bukhari no. 5090]   

 

Islam memerintahkan perempuan agar “melindungi” kecantikannya dengan kewajiban menutup aurat sesuai tuntunan syar’i. Pakaian syar’i yang dimaksud ialah sesuai tuntunan QS. An-Nur ayat 30 dan Al-Ahzab ayat 59. Serangkaian syariat Islam tersebut tentunya bertujuan melindungi perempuan dengan menjaga sifat khususnya, yaitu malu dan terhormat. 

 

KONTES KECANTIKAN TIDAK SESUAI DENGAN PRINSIP DASAR ISLAM   

Berdasarkan beberapa penjelasan sebelumnya, kontes kecantikan sangat tidak sejalan dengan hukum Islam dan Islam dengan tegas melarangnya. 

 

Kontes kecantikan sama sekali tidak membawa value yang selaras dengan ajaran Islam, apalagi membawa misi agama. Tujuan yang hendak dicapai oleh penyelenggara pun hanya untuk kesenangan keduniaan saja, dengan nada slogan demi “perdamaian dunia”, tetapi tidak sesuai dengan kehendak agama. Bagaimana pun gelaran dan misi yang ditawarkan dalam kontes tersebut, sarat dengan berbagai dampak sosial “mudarat” ketimbang “manfaat” di tengah kehidupan sosial, masyarakat, bangsa dan negara.   

 

Kontes kecantikan juga mengajarkan standar kemuliaan wanita yang sangat jauh dengan konsep yang Islam ajarkan. Kemuliaan wanita yang diterapkan oleh muslimah harus sesuai dengan hukum Islam dan telah dicontohkan oleh empat wanita penghulu surga yang pernah dibahas sebelumnya.   

 

LALU, BAGAIMANA DENGAN KONTES KECANTIKAN MUSLIMAH?   

Sumber hukum dalam Islam ada empat, yaitu Al-Quran, hadis, ijma’, dan qiyas. Oleh karena itu, segala hal dalam hidup seorang muslim haruslah berpacu pada pedoman hukum Islam. Boleh tidaknya kontes kecantikan muslimah menurut perspektif Islam harus dilihat secara keseluruhan, bukan hanya dari segi “busana muslimah” yang dipakai oleh kontestan saja. Pada esensinya, pakaian syar’i harus menghindari tabarruj dan menutup aurat, bukan sekadar membungkus aurat (masih memperlihatkan lekuk tubuh).   

 

Kontes kecantikan muslimah juga dikhawatirkan akan dikategorikan sebagai tasyabuh (menyerupai sesuatu atau menyerupai golongan tersebut, baik dalam berpenampilan, perbuatan, berperilaku, atau mengikuti apa yang dilakukan golongan tersebut) ataupun talbitsul haq bil batil (mencampur kebenaran dengan kebatilan). 

 

Meskipun tujuannya adalah untuk mensyiarkan kebaikan dan nilai-nilai Islam, dampak positif dan negatif yang mengikuti suatu hal harus selalu dipertimbangkan sehingga dapat dicapai kemaslahatan dengan sebaik-baiknya. 

 

KALAU KONTES SEJENIS DUTA PENDIDIKAN, DUTA BUDAYA, DUTA GENRE, DLL. ITU BOLEH, NGGAK, SIH?   

Mempromosikan pendidikan, kebudayaan, kesehatan, dan aspek lainnya itu sangat baik selama tidak ‘menabrak’ koridor syariat. Pastikanlah seluruh hal yang berkaitan dengan kontes tersebut sesuai dengan norma dan hukum Islam.   

 

“Emangnya, apa aja, sih, yang harus jadi perhatian?”

 

  • Tujuan dan niat: Apakah tujuanmu dapat memberikan kebaikan di mata Allah?
  • Kemaslahatan kegiatan: Seberapa besar peranmu dapat memberikan manfaat bagi masyarakat?
  • Aturan berpakaian: Jangan sampai menabrak aturan pakaian syar’i, ya!
  • Interaksi dengan lawan jenis: Apakah diwajibkan untuk kontak fisik atau interaksi berlebihan dengan lawan jenis?   

 

Selain poin-poin tersebut, masih banyak lagi hal yang harus diperhatikan. Masih banyak, kok, sarana lainnya yang bisa digunakan untuk mempromosikan kebaikan!   

 

REFERENSI 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts