Knowledge Seekers, kalian pengguna transportasi umum atau bukan? Biasanya, kalo lagi jam berangkat atau pulang kantor, kebayang kan ramenya gimana?
Nah, kali ini Mintau mau membahas terkait hal yang sering merisaukan bagi pengguna transportasi umum, nih! Yess, tentang hukum persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan.
Coba simak penjelasan dari keempat mazhab ini, yuk!
[1] Mazhab Hanafi: bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan tidak batal secara mutlak, baik antar mahram/bukan, baik dengan syahwat/tidak dengan syahwat.
Dalil (1): wudunya tidak batal kecuali bila ada dalil yang sahih dan jelas yang menyebutkan pembatal wudu.
Dalil (2): ada beberapa hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW tidak kembali berwudu setelah menyentuh ‘Aisyah.
Aisyah RA berkata: “Dahulu aku tidur di depan Rasulullah SAW dan kedua kakiku ada di arah qiblatnya, dan bila sujud beliau menyentuhku”. (HR Bukhari dan Muslim)
‘Aisyah juga meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah mencium istrinya, kemudian salat tanpa berwudu kembali. (HR Abu Dawud)
Dalil (3): makna laa-mastumunnisa’ menurut mereka adalah jima’, sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Abbas r.a.
[2] Mazhab Maliki: bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan dapat membatalkan wudu jika disertai dengan syahwat, baik sengaja/tidak. Termasuk juga persentuhan kulit yang dilapisi dengan kain, bahkan persentuhan sesama lelaki atau sesama perempuan pun dapat membatalkan wudu, jika disertai dengan syahwat.
Dalilnya adalah al-Nisa’ ayat 43 dan al-Maidah ayat 6 di mana bersentuhan kulit termasuk hadats kecil yang mewajibkan wudu.
Namun, terdapat hadis-hadis yang menyatakan Rasulullah SAW pernah bersentuhan dengan ‘Aisyah ketika salat, maka mereka mengompromikan dalil tersebut hingga kesimpulan bahwa sekadar bersentuhan yang tidak menimbulkan syahwat tidaklah membatalkan wudu.
[3] Mazhab Syafi’i: seorang laki-laki yang menyentuh kulit istrinya/wanita lain yang bukan mahram dapat membatalkan wudu, walau menyentuhnya tanpa diiring syahwat dengan syarat tidak terdapat penghalang antar kulit tersebut.
Pengecualian: menyentuh rambut, kuku, gigi, atau menyentuh anak kecil yang belum menimbulkan syahwat.
Kata laa-mastumunnisa’ dalam surat al-Nisa’ ayat 43 dan Al-Maidah ayat 6 ditafsirkan dengan bertemunya kulit dengan kulit walau tidak terjadi jima’. Alasannya:
(1) Allah SWT menyebutkan kata “janabah” di awal ayat ini kemudian mengikutinya dengan menyentuh wanita, maka ini menunjukan menyentuh wanita sebagai hadats kecil seperti buang air besar, dan itu semua bukan “janabah”, maka maksud laa-mastumunnisa’ di sini adalah menyentuh kulit walau tidak terjadi jima’.
(2) Kata laa-masa maknanya lamisa sebagaimana dalam qira’ah lainnya, dan semuanya bermakna bertemunya kulit dengan kulit.
(3) Abdullah bin Umar RA berkata:
“Seorang laki-laki mencium istrinya dan menyentuhnya dengan tangannya termasuk mulaa-masah (menyentuh), dan barang siapa yang mencium istrinya atau menyentuh dengan tangannya maka wajib baginya berwudu.”
[4] Mazhab Hanbali dalam riwayat sependapat dengan mazhab maliki dalam hal persentuhan yang disertai dengan syahwat yang membatalkan wudu. Pengecualian: sentuhan kulit tidak langsung (ada alas pembatas), sentuhan dengan kuku, rambut, dan gigi, dan sentuhan sesama laki-laki atau perempuan.
REFERENSI
Said, M. 2020. BERSENTUHAN KULIT ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN: Apakah Membatalkan Wudhu’? [Online] Available at: https://sumsel.kemenag.go.id/opini/view/2342/bersentuhan-kulit-antara-lakilaki-dan-perempuan-apakah-membatalkan-wudhu’ [Accessed on 15 Feb. 2023]
Haq, H. 2018. Beda Pendapat Ulama tentang Persentuhan Kulit Laki-laki dan Perempuan. [Online] Available at: https://islam.nu.or.id/fiqih-perbandingan/beda-pendapat-ulama-tentang-persentuhan-kulit-laki-laki-dan-perempuan-Qeu57 [Accessed on 15 Feb. 2023]