Pada dasarnya, Pasal 2 UU Perkawinan mengatur bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, kemudian dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU 16/2019, batas usia minimal seseorang boleh menikah adalah 19 tahun. Dari sini, pernikahan dini dapat didefinisikan sebagai perkawinan yang dilakukan sebelum laki-laki dan/atau perempuan calon mempelai mencapai usia 19 tahun.
Ketentuan pernikahan, termasuk batas usia, dianggap penting untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan agar pihak yang akan menikah telah memiliki kematangan berpikir guna menghindari terjadinya keretakan dalam kehidupan rumah tangganya nanti.
Kematangan berpikir ini erat kaitannya dengan istilah akil yang bermakna akal atau pikiran. Secara istilah, akil dimaknai sebagai keadaan seseorang yang berakal sehingga dapat membedakan antara baik-buruk, benar-salah, dilarang-diperintah, dan bermanfaat-merusak.
Kondisi akil sangat penting untuk dicapai bagi para pasangan yang ingin menikah, sebab hal ini akan menentukan bagaimana mereka mengambil keputusan dan berusaha menyelesaikan berbagai permasalahan dalam perjalanan rumah tangganya.
Mereka yang menikah di usia dini memang bukan berarti tidak bisa cukup akil, tapi di usia belia, perkembangan otak manusia juga masih terus berlanjut sehingga terdapat kemungkinan kematangan berpikir yang belum sempurna di saat kondisi balig atau kedewasaan biologis yang ditandai dengan kematangan alat reproduksi telah mencapai kondisi terbaiknya.
Pernikahan adalah bentuk janji suci yang sakral antara dua insan manusia kepada Allah dengan tujuan membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Pernikahan bukan media untuk keinginan menyalurkan hawa nafsu dan menghindari zina semata. Pernikahan seharusnya menjadi cara untuk kita menyempurnakan separuh agama dengan berbagai kesiapan yang sempurna di semua aspek kehidupan kita.